Pengadaan akses air bersih sangatlah penting untuk meningkatkan standar kesehatan rakyat Indonesia. Bahkan pengadaan air bersih termasuk dalam salah satu target Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia untuk tahun 2015. Targetnya, 68,97 persen rakyat sudah mendapat akses air bersih pada tahun 2015. Faktanya, berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), baru 47 persen masyarakat yang mendapat akses air bersih. Pemerintah Indonesia menyadari masih tertinggal dalam mencapai target yang ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDG) tahun 2015
Pasalnya masalah air bersih tidak hanya membicarakan soal air untuk kebutuhan rumah tangga, namun juga soal sanitasi lingkungan, sumber daya manusia, hingga angka kematian ibu dan bayi di Indonesia. Utusan Khusus Presiden untuk MDGs, Prof Dr dr Nila Moeloek, SpM(K), mengatakan bahwa kekurangan air bersih tidak boleh disepelekan. Karena akan berdampak langsung pada standar kesehatan rakyat Indonesia. Anak paling rentan terkena dampak, mulai dari diare, tipus hingga H5N1 dan H1N1. Sedangkan untuk orang dewasa bisa mengurangi produktivitas perekonomian. Untuk mencapai target 68,97 persen pada 2015 nampaknya akan sulit dilakukan. Menurut Prof Nila, masalah utamanya terletak pada kontur geografis Indonesia yang luas dan beragam. "Memang mungkin sulit tercapai. Tapi bukan berarti pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum (PU) tidak ada kerjanya. Geografis Indonesia kan luas, beragam, jadi tidak semudah itu".
Tiap-tiap daerah di Indonesia memiliki masalah geografis yang berbeda, sehingga permasalahan air bersihnya pun berbeda. Seperti di provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, masalah air bersih terletak pada sedikitnya sumber air yang bisa digunakan. Sehingga pada musim kemarau, masyarakat rentan mengalami kekeringan. Hanya 5 dari 20 kabupaten atau kota di NTT yang terpenuhi kebutuhan air bersihnya. Sisanya tidak punya akses ke sumber air bersih. Di kota Kupang, pada musim hujan debit air yang keluar dari 29 sumber air hanya 10-75 liter per detik. Pada musim kemarau tentunya debit air itu turun drastis sampai hanya 0,5-20 liter per detik. Sehingga distribusi dari PDAM pun jadi terhambat dari yang biasanya 3 hari sekali menjadi 5-7 hari sekali. Selain jumlah air yang tidak mencukupi, masyarakat Kupang juga memiliki masalah dengan kualitas airnya karena banyak yang tercemar bakteri. Hal ini terjadi karena air tersebut berasal dari air permukaan, bukan air tanah dalam. Dinas Kesehatan Kota Kupang menemukan bahwa sumur galian yang menjadi sumber PDAM dan beberapa pengusaha air lokal kedalamannya kurang dari 80 meter. Malah ada beberapa yang kurang dari 10 meter.
Sementara itu di Papua, masalahnya ada pada sumber air yang jauh. Masyarakatnya tinggal di daerah pegunungan, sementara sumber air ada di dataran rendah. Hal tersebut juga dialami oleh masyarakat Kabupaten Subang, Jawa Barat. Kampung Nyalindung yang masuk dalam daerah Kabupaten Subang, tak jauh dari pusat rekreasi air panas Sari Ater, sampai tahun 2012 belum mendapat akses air bersih dan sanitasi pribadi. Hampir seluruh warga menggantungkan sumber air mereka dari sungai yang mengalir tak jauh dari kampung, karena air sumur mereka tak jernih dan berwarna kekuningan.
Selain masalah yang muncul dari tiap daerah, meningkatnya populasi penduduk serta menurunnya kualitas lingkungan juga menjadi faktor pendukung krisis air bersih ini. Koordinator IUWASH, Jawa Tengah, Jefry Budiman mengatakan, populasi dan kerusakan lingkungan mengakibatkan neraca air bersih di Indonesia sangat kurang. Sehingga ketersediaan air bersih tidak sebanding dengan kebutuhan masyarakat.
Oleh karena itu, kini bermunculan beberapa upaya yang diharapkan dapat mengatasi masalah sanitasi di indonesia. Tidak hanya mengandalkan upaya Pemerintah, peran dari dunia usaha juga di butuhkan. Kurangnya penyediaan akses air bersih dan sanitasi yang memadai di Indonesia terutama didaerah-daerah terpencil, mendorong sejumlah perusahaan memfokuskan kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) pada bidang kesehatan, seperti penyediaan sarana air bersih serta sanitasi. Tujuannya tak lain, agar masyarakat di daerah bisa meningkatkan pola hidup bersih dan sehat lewat fasilitas tersebut. Secara spesifik dunia usaha dapat berperan dalam menyelamatkan keberlangsungan sumber air bersih masyarakat. Beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh dunia usaha di antaranya mengembangkan sistem reboisasi, sumur resapan dan pembuatan biopori. Untuk membangun sistem tersebut harus diawali dengan kajian agar pembangunan sistem ini menjadi sia-sia dan tidak optimal.
Namun, Indonesia membutuhkan setidaknya Rp 56 triliun untuk mempercepat pembangunan sanitasi. Hal ini mengingat masih ada 109 juta penduduk yang belum punya akses terhadap sanitasi dan air bersih yang memadai. 76% penduduk perkotaan saat ini sudah terakses sanitasi yang baik, jauh dibanding penduduk pedesaan yang masih di angka 47%. Dengan angka itu, Indonesia masih memerlukan dana percepatan pembanguan sanitasi sampai 2020 nanti mencapai Rp 56 triliun. Dana itu sebagian sudah di peroleh baik lewat APBN, donor, public private partnership dan CSR. Dengan adanya program ini, sangat diharapkan masalah air bersih dan sanitasi di Indonesia dapat menemukan titik terangnya.